Rabu, 08 Agustus 2007

Warga Ngenyan Asa Datangi Gedung Dewan Tanyakan Tindaklanjut Dewan, Sengketa Tanah TNI-AU


SENDAWAR - Sekelompok warga Kampung Ngenyan Asa yang tergabung Tim Perjuangan Tanah Masyarakat Adat (TPTMA), Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat (Kubar) akhirnya mendatangi gedung DPRD Kukar Jl Mulawarman, kemarin. Kedatangan mereka bukan untuk melakukan aksi unjukrasa seperti sebelumnya, tetapi hanya untuk mempertanyakan kepada dewan soal realisasi penyelesaian sengketa tanah seluas 474,5 hektare di sepanjang jalan poros Kecamatan Melak-Barong Tongkok di Km 09- Km 11 antara TNI-AU dan TPTMA."Kami datang ke dewan hanya untuk mempertanyakan sejauhmana tindaklanjut dewan terhadap tuntutan masyarakat," kata salah seorang warga Kampung Ngenyan Asa ketika dicegat Kaltim Post ketika keluar dari gedung dewan, kemarin.Warga yang tak mau menyebutkan identitasnya itu mengungkapkan, hasil rapat yang dilakukan dewan disimpulkan tentang pembentukan Tim Sembilan yang bertujuan mempelajari dan menginvestigasi tanah yang disengketakan dan kemudian akan diserahkan ke Pemkab Kubar berupa rekomendasi. "Kita hanya menunggu realisasi selanjutnya dari Pemkab," singkatnya.Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Adat Kubar Bagian Tengah A Benciang menanggapi tuntutan TPTMA terhadap tanah yang sudah lama diklaim milik TNI-AU itu. Ia mengharapkan, kepada masyarakat harus benar-benar mencermati tuntutan tersebut. Pasalnya kendati status tanah itu awalnya milik masyarakat dari puluhan hingga ratusan tahun silam dan telah dikuasai kolonial Belanda, namun kata Benciang yang lahir tahun 1939, Belanda kemudian menyerah semua asetnya kepada pemerintah Republik Indonesia. Berdasarkan keterangan komando pangkalan udara (Lanud) Balikpapan, tanah negara itu dipergunakan untuk pangkalan pertanahan."Saya kira masyarakat harus menyadari status tanah itu yang sebenarnya. Apalagi saya yang sudah lanjut usia ini tahu betul tentang tanah itu," kata Benciang yang ketika itu masih berumur 7 tahun.Hanya saja Benciang tetap mendukung, langkah dewan hingga ke Pemkab untuk menyelesaikan sengketa tanah antara masyarakat dan TNI-AU. Hal ini bertujuan agar persoalan ini tidak berlarut-larut dan menimbulkan persoalan yang semakin kompleks di hari-hari mendatang. "Apalagi lahan itu sebagian sudah dibangun puluhan pemukiman penduduk sehingga penyelesaiannya harus melalui mekanisme yang kekeluargaan," katanya.Sebelumnya, DPRD Kubar telah membentuk Tim Sembilan yang diputuskan melalui rapat lintas fraksi dan komisi di gedung Dewan, Selasa (17/9) lalu. Rapat yang dipimpin langsung Ketua DPRD Drs Y Juan Jenau MBA itu menindaklanjuti penyelesaian sengketa tanah seluas 474,5 hektare disepanjang jalan poros Kecamatan Melak-Barong Tongkok, Kubar tepatnya di Km 09 sampai Km 11 antara TNI-AU dan TPTMA Gemuhan Asa.

Hak Ulayat Harus Diakui Hindari Klaim, Sering Melakukan Penelitian

TARAKAN-Jika klaim hak ulayat warga masyarakat hukum adat memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999, dan telah dilakukan penelitian sesuai prosedur, maka pemerintah harus mengakui dan menghormati hak ulayat warga masyarakat hukum adat tersebut. "Jika sesuai aturan, harus diakui," kata Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi yang juga tercatat sebagai Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Keagrariaan Pasca Sarjana Universitas Hasanudin Makassar, kepada media ini, baru-baru ini.Menurutnya, berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tampak jelas bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, kalau memang dalam kenyataannya masih ada. Dan bila hak ulayat itu akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut.Pembahasan hak ulayat itu mengemuka pada forum Dialog Hukum tentang Tanah Adat di Gedung Serba Guna Kantor Walikota, Sabtu tadi. Dialog tersebut dihadiri berbagai kalangan, mulai anggota wakil rakyat, aparat pemerintah, LSM, tokoh masyarakat adat dan perorangan lain.Bismark mengakui pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan daerah sering terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. "Karena itu pemerintah harus melakukan penelitian yang mendalam tentang keberadaan hak ulayat, agar di kemudian hari tidak ada klaim dari masyarakat hukum adat jika melakukan pembangunan di tanah yang dianggap tanah adat. Dan kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dapat dilihat pada tiga hal, yakni ada masyarakat hukum yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat, adanya wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan objek hak ulayat, dan adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu," jelasnya. Selain itu juga tak dapat dibenarkan, tambahnya, jika di masa kini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah lainnya di lingkungan negara kesatuan. "Sikap demikian dalam prakteknya menghambat usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya," sahutnya.Ia juga menyarankan, agar penelitian tentang hak ulayat yang dilakukan pemerintah, bila memenuhi syarat dibuat rancangan perda dan diajukan ke DPRD setempat, untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. "Dengan adanya perda tersebut, maka segala kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat harus dihormati oleh semua pihak. Dan masyarakat hukum adat pemilik hak ulayat tersebut berhak mengatur sesuai hukum adat yang berlaku atas tanah. Bila pemerintah tidak melakukan penelitian, maka DPRD juga bisa melakukan dengan hak inisiatifnya," ucapnya. Manfaat yang diperolah dari penelitian tentang hak ulayat, terangnya, adanya jaminan kepastian hukum atas status bidang tanah. "Sehingga invenstor yang ingin menanamkan modalnya juga bisa mendapat kepastian," jawabnya.Kepala Dinas Pertanahan HM Anshry Ibrahim SH menjelaskan, konsep Hukum Tanah Nasional adalah konsepsi hukum adat yang ditingkatkan cakupannya meliputi semua tanah diseluruh wilayah Indonesia. "Perbedaan dan kesenjangan sosial dalam soal konsepsi antara pembangunan, kesejahteraan rakyat dan persepsi masyarakat adat dengan tanah adatnya tentu saja harus segera diatasi. Bagaimanapun juga, pembangunan dan dinamika masyarakat yang ada harus saling berimbang untuk keberhasilan pembangunan," sebutnya.

erjasama CSF Dengan FF (Grant No. 1035-1397) Memasuki Tahun Kedua

Kerjasama UPT. Perhutanan Sosial (CSF)Universitas Mulawarman dengan the FORD Foundation (FF)Kegiatan CSF yang didanai oleh the Ford Foundation dengan judul “Strengthening Decentralization and Devolution of Forest Resource Management in East Kalimantan” pada bulan Juli 2004 ini telah memasuki implementasi tahun kedua dari jangka waktu implementasi 3 tahun (2003-2006). Program ini mencakup empat kegiatan utama (yang disebut Program Activity/PA), yaitu:PA.1. Review Program Perhutanan Sosial di JawaTujuan: Memberikan refleksi dan evaluasi terhadap praktek masyarakat serta konsep pendekatan, implementasi, output, dan dampak dari program sosial forestri yang dilaksanakan/berkembang di Jawa, termasuk program atas dukungan the Ford Foundation (sekitar tahun 1986-1990), serta menarik pelajaran berharga untuk penyempurnaan program serupa baik di Jawa ataupun di luar Jawa.PA.2. Inventarisasi dan Identifikasi Praktek, Program dan Kebijakan Daerah dalam Mendukung Implementasi Kehutanan Berbasis MasyarakatTujuan: Mendokumentasikan (menyusun data base) keseluruhan (inisiatif praktek, program, dan kebijakan)berkaitan dengan pengelolaan hutan berbasis/ bersama masyarakat yang pernah/sedang dilaksanakan di Kalimantan Timur, agar dapat dimanfaatkan untuk media pembelajaran dari keberhasilan untuk penyusun strategi program/pendekatan di masa depan.logo_Ford.jpgPA.3. Pelaksanaan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia dan Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya HutanTujuan: Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan, pengembangan materi pelatihan, dan uji coba pelatihan untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam rangka desentralisasi dan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan, di kalangan birokrat ataupun masyarakat.PA.4. Pengembangan Kriteria dan Indikator Pemantauan Implementasi Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya HutanTujuan: Menyusun dan mengujicoba kriteria dan indikator pemantauan keberhasilan implementasi desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan, pada tingkat propinsi,kabupaten/kota dan bahkan masyarakat (grass root). (MAS)

Sistem Perladangan Suku Dayak: Dari Ladang Berpindah ke “Kelompok Daleh”

Sistem Perladangan Suku Dayak mengalami perubahan, dari Ladang Berpindah ke “Kelompok Daleh.” Pengamatan ini ditulis berikut ditulis oleh seorang putra dayak, Ndan Imang.Ladang berpindah adalah suatu cara bertani tradisional yang sudah sangat tua. Diperkirakan bahwa jumlah peladang berpindah di seluruh dunia sekitar 250 juta jiwa (Myers 1986) sampai 300 juta jiwa (Russel 1988). Ladang berpindah adalah tipe pengelolaan tanah tropis yang paling luas digunakan di dunia yaitu sekitar 30 % lahan di dunia ini yang dapat dimanfaatkan. (Hauck 1974).Sistem ladang pada Suku Dayak umumnya mengikuti pola dan kebiasaan berikut yaitu:- Harus memulai setiap tahapan pekerjaan dari awal setiap tahun, membangun fasilitas pendukung seperti pondok yang memerlukan biaya sekitar Rp. 150.000-200.000 dan lumbung yang berkisar Rp. 200.000-300.000- Walaupun lokasi ladang mengikuti suatu “rotasi” namun masih banyak membuka hutan primer karena dengan prinsip “siapa pertama membuka lahan memiliki lahan luas”, maka kerusakan hutan tetap terjadi- Tidak bisa memelihara ternak seperti ayam dan babi karena petani tidak selalu menginap di ladang. Suku Dayak terbiasa hidup berkelompok, bukan soliter.- Tanaman perkebunan seperti lada, coklat dan kopi yang sudah ditanam pada tahun pertama umumnya tidak terawat karena petani sudah membuka ladang di lokasi yang baru.- Variasi tanaman sayur-sayuran dan palawija lebih sedikit karena bekas ladang ditinggalkan begitu sajaUntuk mengatasi kelemahan dari sistem berladang yang lama tersebut, masyarakat Kampung Matalibaq dari sub-etnik Dayak Bahau Kabupaten Kutai Barat sudah mengembangkan alternatif konsep untuk mengatasi kelemahan cara lama berladang yang dinamakan “Kelompok Daleh” dengan konsep dasar sebagai berikut:- Petani membagi lahannya menjadi 4-5 plot yang luasnya disesuaikan dengan kemampuan tenaga yang ada setiap KK- Tahun pertama ditanami dengan mentimun dan jagung. Setelah panen ditanami dengan singkong, kacang panjang dan kedelai serta berbagai jenis sayuran.- Setelah sayur-sayuran tersebut dipanen, lahan tersebut ditanami dengan coklat (dapat juga bercampur dengan sayuran berbagai jenis sayuran)- Pada tahun kedua, petani tersebut membuka plot 2 untuk ditanami dengan padi dicampur dengan jagung dan mentimun. Kakao dan sayur-sayuran yang ditanam di Plot 1 pada tahun pertama dapat terus dirawat di sela-sela kegiatan berladang (pada waktu luang).- Demikian seterusnya pada sampai tahun ke lima. Kanopi kakao sudah cukup lebat sehingga cocok lagi di tanami dengan tanaman palawija.Untuk keberhasilan sistem yang baru ini dibutuhkan beberapa syarat dan komitmen dari warga setempat yaitu:- Adanya dukungan yang dari aparat desa dan adanya “keputusan politik” Kepala Desa untuk mendukung pengalokasian lahan- Adanya keinginan beberapa warga yang memiliki lahan yang berdekatan untuk bersatu dalam “Kelompok Daleh”- Tersedianya pasar untuk produk-produk pertanian, khususnya sayur-sayuran- Terdapat suatu hamparan yang luas dan cukup subur sebagai lokasi berladang satu “kelompok daleh” (NI)ReferensiColfer, CJP, Nancy Peluso and Chin See Chung. 1997. Beyond Slash and Burn. Building on Indigeneous Managemen of Borneo’s Tropical Rainforests. The New York Botanical Garden.Imang, Ndan. 1996. Taraf Adopsi Masyarakat Dayak Kenyah terhadap Usahatani Menetap. PPLH Unmul, Samarinda.

Suku Dayak Arangan

Awal mulanya ada karena rasa mau tahu. Apa saja yang tersisa dari hutan dan tanah Kalimantan, setelah bertahun-tahun dikuras dan dikorek habis, juga sudah hancur-hancuran ditebang dan ditambang segala sumber daya alamnya.
Masa mau tahu itu akhirnya mendapat jawaban: bikin ekspedisi kecil-kecilan! Meski selalu dicurigai sebagai petugas pemilihan kepala daerah atau surveyor bahan tambang dan mata-mata perusahaan kayu, tim ekspedisi yang 15 orang ini akhirnya menemukan bahwa daerah sekitar Barito-Muller-Mahakam memang masih menjadi bentengnya hutan dan budaya Dayak.
Beberapa hari sebelum ekspedisi berlangsung dari 17 Juni sampai 2 Juli lalu, tim survei ekspedisi dua pekan sebelumnya sudah melintas rute yang akan dilalui, sambil mencari data lapangan untuk segala persiapan ekspedisi nanti. Di ujung-ujung Sungai Murung yang anaknya Sungai Barito, di Kampung Tumbang Topus, tim survei sudah mendapat percobaan dari penduduk pria dari perkampungan Dayak yang dimukimi aneka suku Dayak di pehuluan itu.
”Kami orang Punan! Mau ketemu Dayak Punan Kaki Merah? Mau lihat kuburan leluhur kami yang besar-besar? Hati-hati di hutan, jaga keselamatan diri! Adat menentukan bayaran sehari kerja Rp 350.000. Itu putusan adat! Turun naik di Batu Ayau harus kami yang urus. Kalau tidak, berbahaya! Mau cari badak, cari banteng, atau cari sarang burung walet?”
Masih segumpal pernyataan yang menjadi pertanyaan, apakah sesangar itu kehidupan orang Dayak di Kalimantan. Untuk itulah Marko Mahin, ahli antropologi dan pemimpin lembaga studi Dayak, sebagai oloh Ngaju atau orang Ngaju, tanpa memikirkan kesibukan rutin di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis dan hari ulang tahun anaknya, segera masuk dalam tim tanpa tanya-tanya dapat honorarium atau tidak.

Selasa, 07 Agustus 2007

Derita Tak Berujung Dayak Bugau

Ketimenggungan Bugau berada di kecamatan Ketunggau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Secara administratif, Ketemenggungan Bugau berbatasan dengan malaysia Timur sebelah utara dan Sarawak Sebelah Selatan. Luas wilayah Kecamatan Ketungau hulu adalah sekitar 2.138,2 Km2. Sedangkan wilayah Ketemengungan Bugau diperkirakan 40% dari luas kecamatan tersebut. Ketemenggungan Bugau terdiri dari 15 kampung dengan wilayah paling hulu adalah sungai Ketungau, sungai terbesar ketiga di Kabupaten Sintang. Ketemenggungan Bugau merupakan daerah resapan dan penyuplai air bagi sungai Ketungau. Daerah perbukitan ini masih merupakan hutan tropis sekunder.
Permasalahan yang dihadapi Ketemenggungan masyarakat adat Dayak Bugau saat ini adalah masuknya lima perusahaan perkebunan kelapa sawit dan satu perusahaan pertambangan sejak 2004. Kelima perusahaan perkebunan tersebut yaitu PT Malindo Jaya Group, PT Makmur Jaya Malindo, PT Inma Jaya group dan PT Inma Makmur Lestari (Milik TNI dan investor dari Malaysia), PT Sintang Sawit Lestari. Kelima perusahaan tersebut sudah dibeli oleh investor dari Malaysia dan tergabung dalam PT Malindo Jaya Makmur (MJM). Luas ijin kelima perusahaan tersebut adalah sebesar Rp 100.000 ha.
Sementara itu, satu perusahaan batu bara juga telah memiliki ijin, yaitu PT Yana Bumi Palaka. Beroperasinya lima perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari rencana pemerintah pusat untuk mengembangkan 1,8 juta hektar sawit di daerah perbatasan Indonesia (Kalimantan)-Malaysia (Sarawak).
Padahal, masyarakat sebelumnya masih trauma dengan kehadiran PT Yamaker dan Inhutani yang beroperasi sejak tahun 1985-an hingga 1997. Inhutani merupakan Hutan Tanaman Industri milik Negara. PT Yamaker merupakan Hak Penguasaan Hutan milik militer (TNI/Tentara Nasional Indonesia). PT Yamaker beroperasi di sekitar Ketemenggungan Bugau yang menjadi bagian dari usaha TNI dalam menjalankan operasi intelijen di daerah perbatasan dengan Malaysia. PT Yamaker dan Inhutani telah menebang kayu di tanah adat masyarakat tanpa memberi ganti rugi sama sekali. PT Yamaker menggunakan pendekatan kekerasan dalam menjalankan usahanya.
Sejarahnya, pada tahun 1967, Ketemenggungan ini merupakan daerah operasi militer ketika terjadi konfrontasi Paraku (Perlawanan rakyat Kalimantan Utara) dengan Malaysia. Paraku terdiri dari sebagian rakyat Indonesia dan Malaysia yang ingin mendirikan Negara Kalimantan Utara. Konfrontasi berakhir dengan pengusiran etnis Tionghoa dari daerah perbatasan dan menjadi trauma masa lalu bagi Masyarakat Adat Dayak Bugau. Saat itu sebagian besar anak muda dipaksa membantu TNI untuk berperang melawan tentara Malaysia. Warga diinterograsi dan dipaksa mengaku sebagai tentara Malaysia. Siapa yang terbukti membantu tentara Malaysia sudah pasti akan dibunuh. Masyarakat wajib menyerahkan setiap pemuda yang sehat untuk direkrut sebagai sukarelawan TNI. Ibu-ibu beserta anak gadisnya wajib menyediakan makanan bagi TNI.
"Ketika kami menjaga penjara di Senaning, kami serba salah seperti simalakama. Teman saya yang kebetulan giliran piket terpaksa harus menembak keluarga sendiri. Karena keluarga tersebut dicurigai melindungi tentara Malaysia lalu di tangkap. Saat di penjara ia berlari ke jalan ingin kabur. Karena ada perintah tembak dari ABRI terpaksa dia harus ditembak. Karena kalau tidak maka seluruh sukarelawan yang giliran menjaga malam itu akan ditembak semua," kata Tingga (63) warga kampung Antu menceritakan pengalaman temannya saat itu.
Konfrontasi dengan Malaysia dalam artian angkat senjata memang telah berakhir, PT Yamaker memang telah tutup, tetapi konfrontasi dari kehadiran PT Yamaker telah menanamkan bibit konflik dalam diri masyarakat. Konfrontasi bukan hanya membuat konflik masyarakat dengan tentara tetapi antar warga masyarakat. Ijin PT Yamaker akhirnya dicabut pada 1997 oleh Pemerintah pusat karena terbukti melakukan pembakaran dan tidak membayar pajak, namun karena dampak buruk kehadiran PT Yamaker masih terasa ditengah masyarakat.
Pada tahun 1998 muncul lagi perusahaan PT Golek, perusahaan Hak Penguasaan Hasil Hutan (HPHH). PT Golek berhenti beroperasi karena masyarakat melarangnya untuk mengambil kayu di hutan masyarakat. Pada tahun 2000, perusahaan ini tutup, dan membiarkan kayu yang ditebang menjadi busuk di tengah hutan.
Pemerintah daerah Kabupaten Sintang juga merencanakan untuk membuka lintas batas dengan Malaysia melalui Desa Jasa, Kecamatan Ketungau Hulu. Pembuatan jalan lintas utara untuk kawasan perbatasan dari Badau (Putussibau)-Desa Jasa (Sintang) sampai Jagoi Babang (Bengkayang). Saat ini telah ditempatkan lima pos jaga yang setiap posnya dijaga 10 orang anggota TNI-AD. Pemerintah daerah juga telah membeli tanah masyarakat untuk asrama polisi seluas 1,5 hektar di desa Jasa.
Di satu sisi, rencana ini positif sebagai pembuka jalur. Tapi, apabila lintas batas ini dibuka, maka dapat dipastikan harga tanah menjadi mahal. Akan banyak proyek-proyek raksasa di sekitar lintas batas. Apabila masyarakat tidak kritis dan tidak mampu mempertahankan wilayahnya, bukan tidak mungkin masyarakat Dayak Bugau akan terpinggirkan dan militer akan menguasai seluruh wilayah Ketemenggungan Bugau.Pembukaan perkebunan PT MJM dan PT Yana Bumi Palaka yang dilakukan saat ini, menunjukkan militer berkuasa penuh. Pembersihan lahan (land clearing) oleh PT MJM secara besar-besaran di wilayah masyarakat adat menggunakan penjagaan kepolisian (Brimob). Ini menunjukkan penderitaan masyarakat adat di Kecamatan Senaning akan terus berlangsung. Dari awal, kemerdekaan memang menjadi alat TNI untuk berperang dengan tentara Malaysia, setelah itu masyarakat harus menjadi penonton ketika PT Yamaker mengambil kayunya. Sekarang wilayahnya pun dirampas oleh perkebunan kelapa sawit. Sampai kapan penderitaan yang diciptakan pemerintah pusat akan berakhir?