Rabu, 08 Agustus 2007

Suku Dayak Arangan

Awal mulanya ada karena rasa mau tahu. Apa saja yang tersisa dari hutan dan tanah Kalimantan, setelah bertahun-tahun dikuras dan dikorek habis, juga sudah hancur-hancuran ditebang dan ditambang segala sumber daya alamnya.
Masa mau tahu itu akhirnya mendapat jawaban: bikin ekspedisi kecil-kecilan! Meski selalu dicurigai sebagai petugas pemilihan kepala daerah atau surveyor bahan tambang dan mata-mata perusahaan kayu, tim ekspedisi yang 15 orang ini akhirnya menemukan bahwa daerah sekitar Barito-Muller-Mahakam memang masih menjadi bentengnya hutan dan budaya Dayak.
Beberapa hari sebelum ekspedisi berlangsung dari 17 Juni sampai 2 Juli lalu, tim survei ekspedisi dua pekan sebelumnya sudah melintas rute yang akan dilalui, sambil mencari data lapangan untuk segala persiapan ekspedisi nanti. Di ujung-ujung Sungai Murung yang anaknya Sungai Barito, di Kampung Tumbang Topus, tim survei sudah mendapat percobaan dari penduduk pria dari perkampungan Dayak yang dimukimi aneka suku Dayak di pehuluan itu.
”Kami orang Punan! Mau ketemu Dayak Punan Kaki Merah? Mau lihat kuburan leluhur kami yang besar-besar? Hati-hati di hutan, jaga keselamatan diri! Adat menentukan bayaran sehari kerja Rp 350.000. Itu putusan adat! Turun naik di Batu Ayau harus kami yang urus. Kalau tidak, berbahaya! Mau cari badak, cari banteng, atau cari sarang burung walet?”
Masih segumpal pernyataan yang menjadi pertanyaan, apakah sesangar itu kehidupan orang Dayak di Kalimantan. Untuk itulah Marko Mahin, ahli antropologi dan pemimpin lembaga studi Dayak, sebagai oloh Ngaju atau orang Ngaju, tanpa memikirkan kesibukan rutin di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis dan hari ulang tahun anaknya, segera masuk dalam tim tanpa tanya-tanya dapat honorarium atau tidak.

Tidak ada komentar: