Selasa, 07 Agustus 2007

Derita Tak Berujung Dayak Bugau

Ketimenggungan Bugau berada di kecamatan Ketunggau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Secara administratif, Ketemenggungan Bugau berbatasan dengan malaysia Timur sebelah utara dan Sarawak Sebelah Selatan. Luas wilayah Kecamatan Ketungau hulu adalah sekitar 2.138,2 Km2. Sedangkan wilayah Ketemengungan Bugau diperkirakan 40% dari luas kecamatan tersebut. Ketemenggungan Bugau terdiri dari 15 kampung dengan wilayah paling hulu adalah sungai Ketungau, sungai terbesar ketiga di Kabupaten Sintang. Ketemenggungan Bugau merupakan daerah resapan dan penyuplai air bagi sungai Ketungau. Daerah perbukitan ini masih merupakan hutan tropis sekunder.
Permasalahan yang dihadapi Ketemenggungan masyarakat adat Dayak Bugau saat ini adalah masuknya lima perusahaan perkebunan kelapa sawit dan satu perusahaan pertambangan sejak 2004. Kelima perusahaan perkebunan tersebut yaitu PT Malindo Jaya Group, PT Makmur Jaya Malindo, PT Inma Jaya group dan PT Inma Makmur Lestari (Milik TNI dan investor dari Malaysia), PT Sintang Sawit Lestari. Kelima perusahaan tersebut sudah dibeli oleh investor dari Malaysia dan tergabung dalam PT Malindo Jaya Makmur (MJM). Luas ijin kelima perusahaan tersebut adalah sebesar Rp 100.000 ha.
Sementara itu, satu perusahaan batu bara juga telah memiliki ijin, yaitu PT Yana Bumi Palaka. Beroperasinya lima perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan bagian dari rencana pemerintah pusat untuk mengembangkan 1,8 juta hektar sawit di daerah perbatasan Indonesia (Kalimantan)-Malaysia (Sarawak).
Padahal, masyarakat sebelumnya masih trauma dengan kehadiran PT Yamaker dan Inhutani yang beroperasi sejak tahun 1985-an hingga 1997. Inhutani merupakan Hutan Tanaman Industri milik Negara. PT Yamaker merupakan Hak Penguasaan Hutan milik militer (TNI/Tentara Nasional Indonesia). PT Yamaker beroperasi di sekitar Ketemenggungan Bugau yang menjadi bagian dari usaha TNI dalam menjalankan operasi intelijen di daerah perbatasan dengan Malaysia. PT Yamaker dan Inhutani telah menebang kayu di tanah adat masyarakat tanpa memberi ganti rugi sama sekali. PT Yamaker menggunakan pendekatan kekerasan dalam menjalankan usahanya.
Sejarahnya, pada tahun 1967, Ketemenggungan ini merupakan daerah operasi militer ketika terjadi konfrontasi Paraku (Perlawanan rakyat Kalimantan Utara) dengan Malaysia. Paraku terdiri dari sebagian rakyat Indonesia dan Malaysia yang ingin mendirikan Negara Kalimantan Utara. Konfrontasi berakhir dengan pengusiran etnis Tionghoa dari daerah perbatasan dan menjadi trauma masa lalu bagi Masyarakat Adat Dayak Bugau. Saat itu sebagian besar anak muda dipaksa membantu TNI untuk berperang melawan tentara Malaysia. Warga diinterograsi dan dipaksa mengaku sebagai tentara Malaysia. Siapa yang terbukti membantu tentara Malaysia sudah pasti akan dibunuh. Masyarakat wajib menyerahkan setiap pemuda yang sehat untuk direkrut sebagai sukarelawan TNI. Ibu-ibu beserta anak gadisnya wajib menyediakan makanan bagi TNI.
"Ketika kami menjaga penjara di Senaning, kami serba salah seperti simalakama. Teman saya yang kebetulan giliran piket terpaksa harus menembak keluarga sendiri. Karena keluarga tersebut dicurigai melindungi tentara Malaysia lalu di tangkap. Saat di penjara ia berlari ke jalan ingin kabur. Karena ada perintah tembak dari ABRI terpaksa dia harus ditembak. Karena kalau tidak maka seluruh sukarelawan yang giliran menjaga malam itu akan ditembak semua," kata Tingga (63) warga kampung Antu menceritakan pengalaman temannya saat itu.
Konfrontasi dengan Malaysia dalam artian angkat senjata memang telah berakhir, PT Yamaker memang telah tutup, tetapi konfrontasi dari kehadiran PT Yamaker telah menanamkan bibit konflik dalam diri masyarakat. Konfrontasi bukan hanya membuat konflik masyarakat dengan tentara tetapi antar warga masyarakat. Ijin PT Yamaker akhirnya dicabut pada 1997 oleh Pemerintah pusat karena terbukti melakukan pembakaran dan tidak membayar pajak, namun karena dampak buruk kehadiran PT Yamaker masih terasa ditengah masyarakat.
Pada tahun 1998 muncul lagi perusahaan PT Golek, perusahaan Hak Penguasaan Hasil Hutan (HPHH). PT Golek berhenti beroperasi karena masyarakat melarangnya untuk mengambil kayu di hutan masyarakat. Pada tahun 2000, perusahaan ini tutup, dan membiarkan kayu yang ditebang menjadi busuk di tengah hutan.
Pemerintah daerah Kabupaten Sintang juga merencanakan untuk membuka lintas batas dengan Malaysia melalui Desa Jasa, Kecamatan Ketungau Hulu. Pembuatan jalan lintas utara untuk kawasan perbatasan dari Badau (Putussibau)-Desa Jasa (Sintang) sampai Jagoi Babang (Bengkayang). Saat ini telah ditempatkan lima pos jaga yang setiap posnya dijaga 10 orang anggota TNI-AD. Pemerintah daerah juga telah membeli tanah masyarakat untuk asrama polisi seluas 1,5 hektar di desa Jasa.
Di satu sisi, rencana ini positif sebagai pembuka jalur. Tapi, apabila lintas batas ini dibuka, maka dapat dipastikan harga tanah menjadi mahal. Akan banyak proyek-proyek raksasa di sekitar lintas batas. Apabila masyarakat tidak kritis dan tidak mampu mempertahankan wilayahnya, bukan tidak mungkin masyarakat Dayak Bugau akan terpinggirkan dan militer akan menguasai seluruh wilayah Ketemenggungan Bugau.Pembukaan perkebunan PT MJM dan PT Yana Bumi Palaka yang dilakukan saat ini, menunjukkan militer berkuasa penuh. Pembersihan lahan (land clearing) oleh PT MJM secara besar-besaran di wilayah masyarakat adat menggunakan penjagaan kepolisian (Brimob). Ini menunjukkan penderitaan masyarakat adat di Kecamatan Senaning akan terus berlangsung. Dari awal, kemerdekaan memang menjadi alat TNI untuk berperang dengan tentara Malaysia, setelah itu masyarakat harus menjadi penonton ketika PT Yamaker mengambil kayunya. Sekarang wilayahnya pun dirampas oleh perkebunan kelapa sawit. Sampai kapan penderitaan yang diciptakan pemerintah pusat akan berakhir?

Tidak ada komentar: