Rabu, 08 Agustus 2007

Sistem Perladangan Suku Dayak: Dari Ladang Berpindah ke “Kelompok Daleh”

Sistem Perladangan Suku Dayak mengalami perubahan, dari Ladang Berpindah ke “Kelompok Daleh.” Pengamatan ini ditulis berikut ditulis oleh seorang putra dayak, Ndan Imang.Ladang berpindah adalah suatu cara bertani tradisional yang sudah sangat tua. Diperkirakan bahwa jumlah peladang berpindah di seluruh dunia sekitar 250 juta jiwa (Myers 1986) sampai 300 juta jiwa (Russel 1988). Ladang berpindah adalah tipe pengelolaan tanah tropis yang paling luas digunakan di dunia yaitu sekitar 30 % lahan di dunia ini yang dapat dimanfaatkan. (Hauck 1974).Sistem ladang pada Suku Dayak umumnya mengikuti pola dan kebiasaan berikut yaitu:- Harus memulai setiap tahapan pekerjaan dari awal setiap tahun, membangun fasilitas pendukung seperti pondok yang memerlukan biaya sekitar Rp. 150.000-200.000 dan lumbung yang berkisar Rp. 200.000-300.000- Walaupun lokasi ladang mengikuti suatu “rotasi” namun masih banyak membuka hutan primer karena dengan prinsip “siapa pertama membuka lahan memiliki lahan luas”, maka kerusakan hutan tetap terjadi- Tidak bisa memelihara ternak seperti ayam dan babi karena petani tidak selalu menginap di ladang. Suku Dayak terbiasa hidup berkelompok, bukan soliter.- Tanaman perkebunan seperti lada, coklat dan kopi yang sudah ditanam pada tahun pertama umumnya tidak terawat karena petani sudah membuka ladang di lokasi yang baru.- Variasi tanaman sayur-sayuran dan palawija lebih sedikit karena bekas ladang ditinggalkan begitu sajaUntuk mengatasi kelemahan dari sistem berladang yang lama tersebut, masyarakat Kampung Matalibaq dari sub-etnik Dayak Bahau Kabupaten Kutai Barat sudah mengembangkan alternatif konsep untuk mengatasi kelemahan cara lama berladang yang dinamakan “Kelompok Daleh” dengan konsep dasar sebagai berikut:- Petani membagi lahannya menjadi 4-5 plot yang luasnya disesuaikan dengan kemampuan tenaga yang ada setiap KK- Tahun pertama ditanami dengan mentimun dan jagung. Setelah panen ditanami dengan singkong, kacang panjang dan kedelai serta berbagai jenis sayuran.- Setelah sayur-sayuran tersebut dipanen, lahan tersebut ditanami dengan coklat (dapat juga bercampur dengan sayuran berbagai jenis sayuran)- Pada tahun kedua, petani tersebut membuka plot 2 untuk ditanami dengan padi dicampur dengan jagung dan mentimun. Kakao dan sayur-sayuran yang ditanam di Plot 1 pada tahun pertama dapat terus dirawat di sela-sela kegiatan berladang (pada waktu luang).- Demikian seterusnya pada sampai tahun ke lima. Kanopi kakao sudah cukup lebat sehingga cocok lagi di tanami dengan tanaman palawija.Untuk keberhasilan sistem yang baru ini dibutuhkan beberapa syarat dan komitmen dari warga setempat yaitu:- Adanya dukungan yang dari aparat desa dan adanya “keputusan politik” Kepala Desa untuk mendukung pengalokasian lahan- Adanya keinginan beberapa warga yang memiliki lahan yang berdekatan untuk bersatu dalam “Kelompok Daleh”- Tersedianya pasar untuk produk-produk pertanian, khususnya sayur-sayuran- Terdapat suatu hamparan yang luas dan cukup subur sebagai lokasi berladang satu “kelompok daleh” (NI)ReferensiColfer, CJP, Nancy Peluso and Chin See Chung. 1997. Beyond Slash and Burn. Building on Indigeneous Managemen of Borneo’s Tropical Rainforests. The New York Botanical Garden.Imang, Ndan. 1996. Taraf Adopsi Masyarakat Dayak Kenyah terhadap Usahatani Menetap. PPLH Unmul, Samarinda.

Tidak ada komentar: